Food Bank, Pengentasan Permasalahan Food Waste dan Ketahanan Pangan

Dyah Ayu Ashari
24/3/2021
Food waste selalu menjadi bahasan yang tidak ada habisnya. Selain berdampak terhadap lingkungan, food waste tentu juga berdampak besar ditinjau dari segi ekonomi.
Food waste selalu menjadi bahasan yang tidak ada habisnya. Selain berdampak terhadap lingkungan, food waste tentu juga berdampak besar ditinjau dari segi ekonomi. Food and Agriculture Organization (FAO) pun memberikan perhatian yang besar pada permasalahan ini. Selain disebabkan beberapa alasan yang telah disebutkan sebelumnya, pertumbuhan populasi menjadi alasan besar lainnya. Dikarenakan populasi manusia yang akan semakin bertambah, ketersediaan pangan tentu menjadi sebuah tuntutan. Pertanyaannya, apakah ketersediaan pangan akan mencukupi permintaan yang ada? Jawabannya ya, tetapi perlu diingat bahwa besarnya food waste ini menjadi salah satu faktor penentu terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pangan dunia.
Sebelum beranjak lebih jauh lagi, ada baiknya membahas pengertian dari food waste. Perlu diketahui bahwa food waste erat kaitannya dengan food loss akan tetapi, keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Mengutip dari laman FAO, food loss merupakan penurunan makanan/bahan pangan baik dari segi kualitas maupun kuantitas pada rantai produksi di tingkat pemasok, sedangkan food waste adalah penurunan makanan/bahan pangan baik dari segi kualitas maupun kuantitas di tingkat retailer, food service provider (contoh: penyedia catering) dan konsumen. Food waste ini dapat meliputi, misalnya, bahan pangan yang tidak memenuhi standar baik dari segi bentuk, ukuran dan lain-lain, makanan atau bahan pangan yang disisihkan karena mendekati tanggal kedaluwarsa dan alasan lainnya.
Bicara mengenai food waste, akan menjadi lebih menarik jika melihat permasalahan ini di Indonesia, karena Indonesia sendiri, dikutip The Economist Intelligence Unit, adalah penyumbang terbesar ke-2 food loss dan food waste dengan besaran 300 kg/orang/tahun. Padahal bahan pangan tersebut seharusnya bisa dicegah untuk menjadi food waste, karena seperti yang dijelaskan sebelumnya sebenarnya bahan pangan tersebut layak konsumsi hanya saja jumlahnya berlebih (surplus) atau karena alasan lainnya. Ironisnya lagi, di lain sisi masih banyak masyarakat yang belum bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Dengan kata lain, manajemen food waste yang baik dapat membantu ketersediaan pangan dan menjadi pemecahan dari beberapa masalah, termasuk di dalamnya pemerataan distribusi bahan pangan ke masyarakat yang membutuhkan. Kuncinya adalah menghubungkan antara penghasil food surplus dengan pihak yang mengalami food deficit. Penghasil food surplus yang dimaksud adalah pihak supermarket, petani, industri pangan, konsumen, food service providers dan lain-lain. Untuk menghubungkan antara kedua belah pihak ini maka diperlukan penghubung, dimana salah satunya dengan Food Bank.
Food Bank ini bekerja dengan mengumpulkan bahan pangan atau makanan dari pihak yang memiliki surplus (selanjutnya disebut food donors) kepada pihak yang membutuhkan. Sekilas memang terlihat sederhana, akan tetapi pada pelaksanaannya tidak sepenuhnya berjalan mudah. Dalam operasionalnya, food bank harus memberikan kepastian kepada food donors bahwa bahan pangan yang mereka berikan dapat diterima dalam kualitas yang masih layak konsumsi ke tangan penerima. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Lous van Vloten-Doting, founder dari Food Bank Neder-Veluwe dan Gendis Ayu Satiti Irawan, co-founder Food Bank Bandung pada webinar dengan tema “How Food Bank could Help Improve the Quality of Life? Lessons learned from The Netherlands and Indonesia” yang diadakan Food Bank Bandung, PPI Wageningen dan PPI Belanda (13/3).
Ke depannya, organisasi nirlaba Food Bank dapat menjadi solusi dalam upaya pengentasan permasalahan food waste di Indonesia dan juga mendorong sustainability rantai produksi makanan. Hal ini dapat diwujudkan melalui peran Food Bank yang tidak hanya meyalurkan makanan surplus dari food donors, tetapi juga memberikan nilai tambah bagi food waste dengan cara mengolahnya menjadi bahan pakan ternak.
Jika melihat contoh kasus di Belanda, telah ada 171 Food Bank yang bekerja untuk mengatasi permasalahan food waste di negara tersebut. Padahal, Negeri Kincir Angin memiliki luas wilayah yang lebih kecil dan juga permasalahan food waste yang tidak serumit Indonesia. Maka dari itu, dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai peran Food Bank, harapannya akan ada semakin banyak Food Bank di Indonesia untuk dapat membantu pendistribusian makanan secara merata. Selaras dengan apa yang disampaikan Lous dan Gendis, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh satu Food Bank, tapi perlu adanya sinergi dari lebih dari satu Food Bank yang terkoneksi dan bekerja secara kolektif.
Akhir kata, mengutip dari apa yang telah disampaikan oleh Bapak Din Wahid (Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Belanda), pendirian Food Bank kiranya dapat membantu menjamin availabilitas pangan di Indonesia. Dengan begitu, impian Indonesia untuk menggapai ketahanan pangan nasional dapat dengan segera diwujudkan seiring dengan upaya perbaikan dalam berbagai bidang lainnya.